FORUM KOMUNIKASI DAN INFORMASI ORGANISASI SERIKAT PEKERJA - DPC KSPSI KAB.TANGERANG

Berharap Perlindungan Maksimal

Berharap Perlindungan Maksimal di Tengah Penegakan Hukum yang Minimal (Kondisi Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia)

Posted: 12 Februari 2010 by Kahar S. Cahyono in Ketenagakerjaan
”Saya tidak tahu, apa jadinya kalau saat itu tidak terdaftar sebagai anggota jamsostek,” tutur Amnah sambil menyeka air mata dengan sapu tangan coklat muda.


Buruh pabrik kayu yang berlokasi di Serang-Banten itu, sambil terisak, menceritakan pengalamannya dalam sebuh diskusi bertajuk Optimalisasi Pelayanan Jamsostek Bagi Kepentingan Pekerja dan Dunia Industri yang diselenggarakan Forum Solidaritas Buruh Serang (08/11).

Masih menurut Amnah, saat itu anaknya sakit keras, dan harus dirawat di rumah sakit selama lebih dari seminggu. Beruntung, ia memiliki kartu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) dari Jamsostek, sehingga tidak sedikitpun mengeluarkan biaya. ”Padahal saya tidak memiliki cukup uang untuk berobat, tahu sendiri lah, gaji saya hanya UMK, untuk biaya kebutuhan sehari-hari saja masih kurang,” ujar Amnah.
Namun sayang, tidak semua pekerja seberuntung Amnah. Sebagaimana diungkapkan oleh Koordinator Hukum, Politik dan HAM FSBS, Argo Priyo Sujatmiko, dari study yang dilakukan FSBS di 26 perusahaan, 16 diantaranya tidak mendaftarkan seluruh pekerjanya sebagai peserta program JPK. Sementara 5 perusahaan yang lain memilih menyelenggarakan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Secara Mandiri.
Study ini juga menemui adanya perusahaan yang menyediakan fasilitas pemeliharaan kesehatan, dengan jalan mengganti biaya berobat pekerja. Misalnya yang terjadi di PT. SS dengan jumlah pekerja ± 800 orang. Disana pekerja dan keluarganya (suami/istri dan 3 orang anak) mendapatkan pengganti biaya berobat sebesar Rp. 50.000.00/ orang/ bulan.

Untuk rawat inap dengan sakit biasa sebesar 1,5 juta, rawat inap dengan operasi kecil sebesar 2 juta, dan rawat inap dengan operasi besar/cesar sebesar 3 juta. Adapun kekurangan dari jumlah dana tersebut ditanggung sendiri oleh pekerja yang bersangkutan, sehingga akan merugikan pekerja. Karena bila tidak ada pekerja yang sakit, maka dana itu akan kembali ke perusahaan.

”Adanya peluang bagi perusahaan untuk mengelola secara mandiri pelayanan jaminan kesehatan selain melalui Jamsostek agaknya harus segera diverifikasi. Hal ini untuk memastikan, pelayanan dan manfaat yang didapatkan benar-benar lebih baik dari manfaat yang diberikan ketika mengikuti program Jamsostek, sehingga kondisi ini tidak dimanfaatkan perusahaan untuk sekedar ”menggugurkan kewajiban,” saran Argo.
Menanggapi hasil study yang dilakukan FSBS, Isbandi Anggono, Ketua Konsulat Cabang FSPMI Kabupaten Serang mengatakan, bahwa program jamsostek menekankan pada perlindungan bagi tenaga kerja yang relatif mempunyai kedudukan yang lebih lemah. Di samping itu, sudah sewajarnya apabila tenaga kerja diikutkan dalam program jamsostek, karena akan memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya dan merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka bekerja.

”Kalau hanya mengandalkan gaji UMK, buruh tidak mampu berobat dikala sakit dan tidak bisa berkutik diwaktu tua. Apalagi, dalam item kebutuhan hidup layak yang dijadikan patokan untuk menghitung nilai UMK tidak memasukkan biaya berobat,” ujar Isbandi.

Isbandi juga menyesalkan masih banyaknya perusahaan yang tidak mengikutkan buruh-buruhnya dalam program Jamsostek. Padahal, menurutnya, Jamsostek adalah hak bagi pekerja, dimana pelanggaran dalam ketentuan ini diancam dengan hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling tinggi 50 juta. Itulah sebabnya, dia juga mengusulkan agar undang-undang Jamsostek segera diamandemen. (baca: Mengapa UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek Perlu Diamandemen?)

Secara terpisah, Bagus Musharyo, Koordinator Sekretariat Perburuhan Institut Sosial (SPIS), dalam Konferensi Buruh Kontrak, di Serang – Banten, menyampaikan bahwa masih banyaknya buruh yang tidak terdaftar sebagai anggota Jamsostek bukan semata-mata karena kesalahan PT. Jamsostek, karena Jamsostek hanya sebagai badan penyelenggara.

”Ini merupakan cermin lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Sebuah aturan yang sudah jelas-jelas ada sanksinya saja tidak bisa ditegakkan ketika dilanggar, apalagi yang merupakan wilayah abu-abu,” ujar Bagus.
Itulah sebabnya, Bagus sangat mendukung adanya inisiatif dari kalangan pekerja untuk melaporkan kepada Disnaker perusahaan-perusahaan yang masih membandel dengan tidak bersedia mengikuti aturan. Apalagi, ketika UMK masih dirasa belum mencukupi kebutuhan, jamsostek akan melindungi tenaga kerja bilamana mengalami kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. (Kahar S. Cahyono)

Mengapa UU No. 3 Tahun 1992 Tentang Jamsostek Perlu Diamandemen? (Pendapat FSPMI)

I. Dasar Pemikiran

  • Pertama. Sistim jaminan sosial tenaga kerja yang ada selama ini tidak memberikan manfaat yang optimal kepada pesertanya (pekerja dan keluarganya), dikarenakan Badan Hukumnya adalan Perseroan Terbatas (Undang-Undang Perseroan) dengan prinsip “Profit Oriented” dan dibawah kementerian BUMN (UU No. 19 tahun 2003) yang dividennya wajib disetor kepada pemerintah. Sehingga keberadaan UU No. 3 tahun1992 tentang jamsostek perlu di amandemen/direvisi. Dengan prinsip-prinsip sistim jaminan sosial yang diamanatkan UU No. 40 tahun 2004, yaitu antara lain bersifat dana amanat dan hasil pengelolaan dana dipergunakan seluruhnya untuk kepentingan peserta (pekerja dan keluarganya).Data dibawah ini menjelaskan, bahwa PT. Jamsostek tidak menganut prinsip tersebut diatas, yaitu : Laporan PT. Jamsostek per 30 Juni 2007 menunjukkan jumlah harta Rp. 54,4 Triliun. Sedangkan konstribusi kepada masyarakat dan peserta (a) Dana bergulir (pinjaman) Rp. 385,5 Milyar (kurang dari 1%) dan (b) Dana hibah Rp. 148,5 Milyar (kurang dari 0,5%)Dari data diatas, para komisaris dan direksi tidur saja (tidak usah bekerja) dan Harta ditaruh di Bank dengan bunga 10% per tahun, maka didapat profit Rp. 5,4 Triliun. Tetapi dari data terlihat bahwa hibah yang diberikan hanya Rp. 148,5 Milyar atau dengan kata lain hanya kurang dari 0,5% dari Harta. Kemana yang Rp. 5 Triliun lagi pertahun. Berapa banyak rumah buruh yang bisa dibangun ? Berapa banyak anak buruh yang bisa bersekolah ? Berapa banyak keluarga buruh yang dapat berobat gratis ? Aneh bin ajaib ?
  • Kedua. Bahwa nilai iuran untuk program jamsostek (di Indonesia) dan jenis programnya sekarang ini sangat minim sekali, oleh karenanya perlu dikembangkan (ditambah) nilai iurannya. Setidaknya bila dibandingkan dengan beberapa Negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina.
  • Ketiga. Dengan adanya UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN, maka keberadaan UU No. 3 tahun 1992 harus menyesuaikannya. Dan jangan beralasan tidak perlu adanya penyesuaian dikarenakan ekonomi Negara belum sanggup menyelenggarakan Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pendapat ini keliru, karena justru dikala ekonomi Negara mulai merangkak, maka akumulasi premi/iuran jaminan social dapar dimanfaatkan untuk menggerakan roda ekonomi pembangunan. Perhatikan fakta dibawah ini : • Amerika Serikat memulai SJSN ketika “income perkapita”nya US $ 600 • Korea Selatan memulai SJSN ketika “income perkapita”nya US $ 100 (sekarang tabungan dana pensiunnya US $ 240 Milyar) • Jerman (Otto Van Bismarck) memulai SJSN ketika jumlah pekerja formalnya hanya 10% dari jumlah angkatan kerjanya. Oleh karena itu, saatnyalah untuk mengamandemen UU No. 3 tahun 1992 tentang jamsostek, sebagai salah satu upaya untuk menggerakan roda perekonomian/pembangunan bangsa Indonesia.

  • Keempat. Bahwa dengan diamandemennya UU No. 3 tahun 1992 tentang jamsostek, maka perlu memperhatikan UU yang terkait, yaitu UU No. 13 tahun 2003 (khususnya berkenaan dengan pasal kepesertaan, definisi, dan program jaminan cadangan pesangon/bila diperlukan) dan UU No. 11 tahun 1992 tentang dana pensiun (khususnya bila memasukan program jaminan pensiun sebagai program wajib).
Misal dalam UU No. 11 tahun 1992 disebutkan bahwa yang dapat melaksanakan program jaminan pensiun adalah apabila sudah diperjanjikan oleh pemberi kerja. Maka dengan memasukan program jaminan pensiun dalam “program baru” di amandemen UU No. 3 tahun 1992, maka program jaminan pensiun menjadi wajib bagi pemberi kerja, baik diperjanjikan maupun tidak diperjanjikan. Dan hal ini adalah wajar, karena PNS dan TNI/Polri saja semuanya mempunyai pensiun, tetapi saat ini karyawan swasta (hanya 500 perusahaan kurang dari 1% saja dari total perusahaan swasta) yang mendapatkan jaminan pensiun. Hal ini tidak adil, karena ada diskriminasi antara PNS dan pegawai swasta. Maka amandemen UU No. 3 tahun 1992 ini akan menghapus diskriminasi tersebut.

II. Pokok-Pokok Pikiran Penulis Terhadap Isi Pasal Amandemen UU No. 3 tahun 1992 Tentang Jamsostek

1. Tentang Dasar/Prinsip Penyelenggaraan Jamsostek
Prinsip Nirlaba, dana Amanat dan hasil pengelolaan dana dipergunakan seluruhnya untuk kepentingan peserta, maka pengejawantahannya adalah sistim wali amanat. Ada perdebatan yang berujung dalam dua pendapat tentang sistim wali amanat ini : (a). Perlu dibuat UU tentang wali amanat dulu, dan (b) Tidak perlu dibuat UU tentang wali amanat secara terpisah, tetapi tentang wali amanat yang berhubungan dengan penyelenggaraan jamsostek sudah diatur langsung (including) didalam amandemen UU No. 3 tahun 1992 tersebut.
Penulis berpendapat setuju dengan pendapat kedua (poin b), yaitu dalam amandemen UU No. 3 tahun 1992 wajib mencantumkan tentang sistim penyelenggaraan jamsostek adalah wali amanat dan ditulis/diatur dalam pasal yang jelas tentang sistim wali amanat ini.

2. Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Karena jamsostek (bukan jamsospek atau jamsosbus?) sistimnya adalah wali amanat (sesuai UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN), maka penyelenggara dana jamsostek terdiri dari :
a. Dewan wali amanat: Berjumlah 15 orang, yang terdiri dari : 6 orang wakil pekerja, 4 orang wakil pengusaha, 3 orang wakil pemerintah, dan 2 orang pakar; Diangkat dan diberhentikan oleh Presiden; Dewan wali amanat bertanggung jawab kepada Presiden; Pengangkatan harus persetujuan DPR RI melalui “Fit and Proper Test” (uji kemampuan dan kelayakan)
Wewenang Dewan wali amanat : (a) Menetapkan kebijakan serta melakukan pengawasan umum terhadap penyelenggaraan program dan pengelolaan dana jamsostek. (b) Meminta Laporan Badan pelaksana atas penyelenggaraan program dan pengelolaan dana jamsostek. (c) Melakukan penilaian kinerja Badan pelaksana.
Tata cara, mekanisme, jumlah yang diusulkan, yang mengusulkan, wewenang, masa jabatan, dan sebagainya akan diatur dalam pasal-pasal.
b. Badan pelaksana: Badan pelaksana bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan Dewan wali amanat; Badan pelaksana berwenang melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama Dana jamsostek dan mewakilinya didalam maupun diluar pengadilan serta melakukan pengawasan keputusan program jamsostek; Badan pelaksana terdiri dari tenaga ahli dan professional tentang jamsostek dan sistim asuransi; Hal-hal lain tentang badan pelaksana diatur dalam pasal-pasal.
c. Dewan wali amanat membentuk komite audit, komite investasi, dan komite kepatuhan.
Catatan : Karena kedepan (dengan adanya penambahan jenis program baru) dana jamsoatek akan mencapai ratusan bahkan ribuan Triliun Rupiah dan sebagai dana publik (sistim wali amanat), maka keberadaan dan peran DPR RI harus besar. Misal peran didalam “Fit and Proper Test”, pengawasan dan sebagainya.
Peran pemerintah dalam UU jamsostek yang baru ini lebih kepada pengawasan dan regulator. Sedangkan penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Dewan wali amanat (didalam unsur pemerintah juga ada) dan Badan pelaksana (beserta komite-komitenya)

3. Tentang Jenis Program
Penulis mengusulkan jenis program jamsostek adalah :
a. Jaminan kematian (JK)
b. Jaminan kecelakaan kerja (JKK)
c. Jaminan hari tua (JHT)
d. Jaminan pemeliharaan kesehatan tenaga kerja (JPKTK)
e. Jaminan pensiun (JP)
f. Jaminan Asuransi pengangguran (JAP)
g. Jaminan cadangan dana pesangon (JCP), bila diperlukan.
Dari ketujuh jenis program diatas ( no. e, f, g adalah program baru), maka kesemuanya sudah sesuai dengan “ILO Convention”
Untuk badan penyelenggara terhadap ketujuh program tersebut dapat diklasifikasikan penyelenggaraannya sebagai berikut :
* BPJS jamsostek dapat sebagai penyelenggara ketujuh program diatas, yang peraturan peleksanaannya akan dibuat oleh Dewan wali amanat, setelah mendapat persetujuan Presiden RI.
* Disamping itu, untuk program JPKTK, JAP dan JCP, selain dapat diselenggarakan oleh BPJS jamsostek, maka peserta jamsostek dapat memilih Badan penyelenggara lainnya, tetapi manfaat programnya tidak boleh lebih kecil dari manfaat program yang diatur dalam amandemen UU jamsostek ini.
Misal :
- Program jaminan pensiun (JP) dalam UU No. 3 tahun 1992, sudah diatur bahwa penyelenggara JP dapat oleh Badan Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan Badan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK)
- Program jaminan kesehatan (JPKTK) dalam UU No. 11 tahun 1992, selain BPJS jamsostek dapat menyelenggarakan/melaksanakan program kesehatan, maka asuransi kesehatan (atau JPK) lainnya dapat juga menyelenggarakan (asalkan manfaat/benefitnya lebih baik).
- Program jaminan cadangan pesangon (JCP), selain BPJS jamsostek dapat menyelenggarakannya, maka dimungkinkan asuransi jiwa lainnya dapat menjadi Badan penyelenggara.
BPJS jamsostek dalam menyelenggarakan programnya dapat berbentuk :
* Asuransi, untuk program JK, JKK, JPKTK dan JAP.
* Tabungan (poolling fund), untuk program JHT, JP, dan JCP.

6. Tentang Kepesertaan
Peserta program Jamsostek adalah pengusaha dan tenaga kerja formal (di BUMN, swasta, BUMD, mandiri, TKI di luar negeri) dan tenaga kerja informal serta perusahaan perseorangan.

7. Tentang Sistem Akuntansi (PSAK)
BPJS Jamsostek menggunakan PSAK yang diatur secara tersendiri dan disyahkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI).

8. Tentang hasil pengembangan pengelolaan dana amanat Jamsostek
Hasil pengembangannya wajib sebesar-besarnya digunakan untuk kepentingan peserta (bukan dibagikan ke pemerintah dalam bentuk dividen), misal dana bantuan untuk pembangunan perumahan buruh, dana bantuan untuk beasiswa pendidikan anak pekerja/buruh dan sebagainya.

9. Tentang Pengelolaan dan kekayaan dana Jamsostek
Kekayaan dana Jamsostek terdiri atas :
a. Investasi
b. Kas dan rekening di Bank
c. Piutang iuran
d. Aktiva lain yang diperkenankan
e. Hasil pengembangan usaha yang diperkenankan.
Pengelolaan terhadap kekayaan dana Jamsostek wajib diatur dalam pasal-pasal yang jelas dan tegas (tidak samar-samar dan tidak dapat menimbulkan multi tafsir/peluang korupsi) di dalam amandemen UU No.3 tahun 1992. Dan bentuk-bentuk pengelolaan dan jenis kekayaan yang akan diatur tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang telah ada, misal Undang-Undang tentang investasi dsb.

10. Tentang Sanksi
Kelemahan Undang-Undang No.3 tahun 1992 tentang Jamsostek yang utama adalah karena lemahnya sanksi kepada pemberi kerja yang tidak mengikut sertakan (tidak mendaftarkan) sebagai peserta program Jamsostek. Data menunjukkan di tahun 2007 ini hanya 8,1 juta orang sebagai peserta Jamsostek dari lebih 23 juta pekerja formal dan puluhan juta pekerja informal.
Bayangkan bila seluruh pekerja formal (termasuk TKI) dan sebagian pekerja informal dapat menjadi peserta Jamsostek, maka ratusan triliun rupiah dana dapat terkumpul (dapat dimanfaatkan menggerakkan roda pembangunan) dan memberikan perlindungan “social security” bagi pesertanya sehingga tercipta ketenangan usaha dan ketenangan kerja. Maka investasipun akan berkembang di Indonesia.
Penulis mengusulkan terhadap pasal sanksi di amandemen UU No.3 tahun 1992 harus jelas, tegas, mendidik, dan membuat efek jera. Bentuk sanksi di buat bertingkat :
(a) Bagi pemberi kerja yang tidak membayar total iuran kepesertaan Jamsostek selama kurang dari 3 bulan dalam satu tahun, maka dikenakan denda membayar 3 kali lipat dari nilai iuran yang tidak dibayar, ditambah nilai iuran yang menjadi kewajibannya.
(b) Bagi pemberi kerja yang tidak membayar total iuran kepesertaan Jamsostek selama kurang dari 6 bulan dalam satu tahun, maka dikenakan denda membayar 10 kali lipat dari nilai iuran yang tidak di bayar, ditambah nilai iuran yang menjadi kewajibannya, serta dimungkinkan dicabut izin usahanya.
(c)Bagi pemberi kerja yang tidak membayar total kepesertaan Jamsostek selama kurang atau lebih dari 12 bulan, maka dikenakan tindak pidana kejahatan dengan hukuman penjara sekurang-kurangnya 1 tahun dan selama-lamanya 5 tahun, tanpa mengurangi kewajibannya untuk membayar senilai jumlah iuran yang tidak dibayarkan tersebut.
(d) Bagi pemberi kerja yang membayar tidak sesuai total iuran kepesertaan Jamsostek, padahal sudah memotong iuran dari pekerja/buruh, maka dikenakan tindak pidana kejahatan dengan hukuman penjara sekurang-kurangnya 1 tahun dan selama-lamanya 5 tahun, tanpa mengurangi kewajibannya untuk membayar senilai jumlah iuran yang tidak dibayarkan tersebut



TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA
Kontak Online : 0812 - 973 - 8810