Serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) harus mengembangkan wawasan dan pengetahuan yang komprehensif terhadap upaya peningkatan perlindungan, pembelaan dan perbaikan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya.
Bahkan, keberadaan SP/SB harus memberikan kontribusi positif dalam tataran kelembagaan Bipartit (hubungan pekerja dan pengusaha) maupun Tripartit (hubungan pekerja, pengusaha dan pemerintah), baik di tingkat daerah maupun pusat.
Saat ini, di Indonesia tercatat ada :
- 4 Konfederasi SP/SB
- 90 Federasi SP/SB
- 97.924 SP/SB di tingkat perusahaan
- 170 SP/SB di BUMN dan
- jumlah anggota SP/SB hingga seluruhnya mencapai 3.414.455 orang.
Menurut Menakertrans Muhaimin Iskandar, peranan SP/SB harus ditingkatkan agar menjadi organisasi yang profesional yang visi dan misinya menciptakan perlindungan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja dengan menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak.
“Kurangnya komunikasi dan sarana untuk menampung dan memahami aspirasi/keluhan para buruh merupakan salah satu penyebab terjadinya ketidakcocokan antara pihak pengusaha dan buruh,” ujarnya.
Oleh karena itu, tambahnya, untuk mendukung terciptanya hubungan industrial yang harmonis pemerintah selalu mendorong adanya perjanjian perusahaan (PP), perjanjian kerja bersama (PKB) dan pembentukan lembaga Bipartit yang didalamnya melibatkan unsur pengusaha dan SP/SB dalam sebuah perusahaan.
Menurut data Kemenakertrans sampai akhir 2010 tercatat ada sebanyak :
- 44.149 peraturan perusahaan (PP) dan
- 10.959 perjanjian kerja bersama (PKB) di seluruh Indonesia.
Mengenai lembaga Bipartit yang terbentuk dalam periode yang sama itu di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan tingkat perusahaan jumlahnya mencapai 13.246 lembaga.
“Sudah waktunya SP/SB dan pengusaha duduk bersama, tidak lagi saling menyalahkan. Kedua belah pihak harus saling menghormati karena merupakan mitra kerja yang saling mendukung untuk kepentingan bersama,” ungkap Muhaimin.
Sementara itu, Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional (SPN) Bambang Wirahyoso menuturkan pengusaha dan SP/SB harus bekerja sama membangun hubungan industrial yang harmonis, demokratis dan berkeadilan.
Hal itu diperlukan karena dapat mewujudkan iklim usaha yang kondusif, sehingga dapat menciptakan ketenanganan bekerja, sekaligus membuka lapangan kerja baru dalam rangka penanggulangan pengangguran dan peningkatan kesejahteraan pekerja.
“Kedua belah pihak harus menyamakan persepsi mengenai cara penciptaan hubungan industrial yang baik, sehingga dapat meningkatkan produktivitas, menarik investasi dan menghindari terjadinya PHK,” katanya.