RIWAYAT SEJARAH
SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL
Pada tahun 1997, krisis ekonomi telah melanda kawasan Asia. Krisis itu diawali di Thailand pada bulan Juli 1997 dan kemudian menjalar ke Indonesia. Meskipun demikian, pada bulan Agustus 1997, baik IMF, Bank Dunia dan Pemerintah serta negara-negara donor yang bersidang di Tokyo pada bulan Agustus 1997 masih optimis, bahwa Indonesia tidak akan terkena krisis. Fundamental ekonomi Indonesia, dinilai masih kuat bertahan terhadap krisis itu.
Tetapi, sebulan setelah itu, tanda-tanda krisis justru sangat cepat menerjang perekonomian Indonesia. Dimulai dengan kebijakan BDN (Bank Dagang Negara) yang menaikkan suku bunga depositonya sampai 23 %, kemudian diikuti bankbank lainnya. Kurs rupiahpun meluncur, dari sekitar Rp 2300,-/ menjadi Rp 3200,- sampai Rp I5.ooo,-/dolar AS. Untuk menyelamatkan dunia perbankan dan sekaligus mengatasi krisis, pemerintah meminta bantuan IMF dan kemudian meluncurkan program BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), yang ternyata justru berdampak buruk bagi Indonesia, berupa utang negara yang mencapai Rp 600 trilyun rupiah.
Dibalik kondisi seperti itu, berbagai (alternatif) upaya-upaya mengatasi kriris, sesungguhnya juga dilakukan oleh berbagai kalangan. Presiden Soeharto sendiri, dalam pertemuannya dengan Majelis Ulama Indonesia pada bulan Februari 1998, antara lain mengatakan, bahwa pemerintah telah memiliki resep yang manjur untuk mengatasi krisis, yaitu dengan mematok nilai rupiah. Agaknya, kebijakan ini sesuai dengan nasihat Prof Steve Hanke. Namun, akhirnya pemerintah tidak mampu mematok nilai rupiah. Sebabnya, Indonesia tidak memiliki tabungan nasional untuk mematok kurs rupiah. Ketidak mampuan mengatasi krisis inilah yang kemudian memicu kejatuhan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998, hanya dua bulan setelah terpilih kembali secara aklamasi di MPR. Hal ini berbeda dengan Malaysia, yang mampu mematok nilai ringgit-nya, disebabkan Malaysia memiliki tabungan nasional yang sangat besar, yang berasal dari dana Jaminan Sosial.
Dewan Pertimbangan Agung, sesuai dengan tugasnya sebagai lembaga pertimbangan Presiden, juga berusaha untuk mencari alternatif kebijakan dengan mengundang beberapa pakar/ pemerhati Jaminan Sosial (antara lain DR Hartari dan Drs Srimardji Muwardjo, keduanya mantan Direksi Jamsostek dan Dr Sulastomo MPH, mantan Direksi Askes). Setelah melakukan beberapa presentasi, akhirnya Dewan Pertimbangan Agung dapat menyetujui untuk memberikan pertimbangan pada Presiden, untuk mempertimbangkan pengembangan program Jaminan Sosial. Pertimbangan DPA itu disampaikan kepada Presiden pada 11 Oktober 2000. Antara lain dikatakan perlunya segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional yang langsung dibawah Presiden. Dalam pertimbangan DPA juga dikatakan, bahwa penyelenggaraan program Jaminan Sosial dinilai mampu sebagai kebijakan alternatif mengatasi krisis. Untuk itii, diperlukan berbagai peringkat perundangan dan mengingat Kantor Menko Kesra pada waktu itu telah dibubarkan, maka tugas melakukan reformasi Sistem Jaminan Sosial berada ditangan Wakil Presiden.
Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri kemudian membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dipimpin oleh seorang Deputy Wapres Dra Jaumil Achir dan kemudian Tim Sistem Jaminan Nasional setelah Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden. Ketika Dra Jaumil Achir wafat, Dr Sulastomo MPH ditetapkan sebagai ketua Tim. Pokja dan Tim inilah yang mempersiapkan studi akademis, naskah akademis dan RUU Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pokja dan Tim terdiri dari unsur berbagai Departemen, BUMN, dunia usaha dan buruh serta para ahli. Uni Eropa juga telah memberikan bantuan tenaga ahir dan bantuan dana hibah untuk Tim.Demikanjah, setelah Pokja dan Tim bekerja selama sekitar 3,5 tahun, melakukan studi banding ke Eropa dan Asia , sosialisasi di 18 provinsi dan melakukan revisi sebanyak 56 kali, dua kali presentasi di sidang kabinet, pada bulan Januaru 2004 Pemerintah menyampaikan Amanat Presiden ke DPR untuk dibahas, dan pada bulan Oktober 2004, RUU Sistem Jaminan Sosial Nasional diundangkan menjadi UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional.
Semula, Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja ( JPHK ) juga termasuk salah satu program yang dirancang sebagai program Jaminan Sosial. Namun, mengingat program ini telah termaktub dalam UU Ketenagakerjaan, yang baru saja diundangkan ( UU 13/2003), maka Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja dihapus dari SJSN, sehingga program Jaminan Sosial yang termaktub dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional terdiri dari Jaminan Kesehatan (JK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT). Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Kematian (JKM). Diharapkan, seluruh warga negara Indonesia, suatu saat, akan tercakup pada seluruh program, meskipun secara bertahap.
Proses Penyusunan naskah
Proses penyusunan naskah akademik dan RUU Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat dikatakan tidak mudah, bahkan sangat rumit. Baik Pokja maupun TIM SJSN selalu menghadapi pembicaraan yang sengit dalam Pokja/Tim yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Revisi sejumlah 56 kali menunjukkan, betapa Pokja/Tim selalu ingin membuka aspirasi berbagai kalangan yang terkadang sangat berbeda. Tidak jarang, perubahan itu berasal dari ang-gauta Pokja/Tim sendiri yang mengalami perubahan persepsi sepanjang proses penyusunan RUU SJSN. Dari konsep wadah tunggal penyelenggara program Jaminan Sosial, sampai plural dan akhirnya dirumuskan sebagaimana termaktub dalam UU No 40/2004. Mempertahankan 4 (empat) BUMN yang selama ini telah menyelenggarakan program Jaminan Sosial (PT Persero Jamsostek, Askes Indonesia, Taspen dan Asabri ) dan kemungkinan badan penyelenggara lain dengan syarat ditetapkan dengan Undang-Undang. Keempat BUMN tersebut, diwajibkan untuk menyesuaikan diri dengan UU No 40/2004 selambat-lambatnya 5 (lima) tahun setelah UU SJSN diundangkan.
Adapun beberapa materi yang dianggap sangat krusial adalah
1. Badan Hukum Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial
2.Penyelenggaraan program Jaminan Sosial bagi masyarakat miskin/kurang mampu.
3.Peran Pemerintah Daerah.
4.Sinkronisasi dengan berbagai perundangan yang lain.
5.Masalah iuran dan manfaat. Namun setelah melalui pembahasan yang mendalam, terkadang keras, akhirnya disimpulkan sebagai berikut
1. Tentang bentuk badan Hukum Disetujui sebagai badan Hukum Khusus penyelenggara program Jaminan Sosial yang langsung bertanggung jawab pada Presiden. Hal ini setelah mempertimbangkan luasnya jangkauan program Jaminan Sosial yang sangat lintas sektoral, nilai strategisnya program Jaminan Sosial dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dan dampaknya pada pembangunanbangsa secara keseluruhan serta s/rategisnya peran negara dalam penyelenggaraan program Jaminan Sosial. Wacana sebagai BUMN Khusus juga dibahas. Namun, kesepakatan pada waktu itu, baik di intemal Tim maupun dalam pembahsan antara DPR dan Pemerintah, sebagaimana etrtuangdialam UU No 40/2004.
2. Penyelenggaraan program Jaminan Sosial bagi masyarakat miskin/tidak mampu Amanat UUD 1945 adalah, bahwa program Jaminan Sosial diperuntukkan bagi seluruh rakyat. Apakah Program Jaminan Sosial bagi masyarakat miskin / tidak mampu diselenggarakan secara terpisah atau diintegrasikan dengan program Jaminan Sosial bagi masyarakat lainnya? Pokja /TIM mensepakati untuk "dititipkan" pada penyelenggaraan program Jaminan Sosial masyarakat lainnya. Hal ini diperlukan demi efisiensi, baik dalam penyelenggaraan maupun anggarannya, dimana terbuka peluang subsidi silang serta tumbuhnya solidaritas sosial dan keadilan sosial didalam mewujudkan kesejahteraan rakyat diantara sesama warga bangsa. Didalam pembahasan dengan DPR, akhimya disepakati, adanya peserta penerima bantuan iuran, dimana iuran Jaminan Sosialnya (bagi masyarakat miskin / tidak .mampu) dibayar,oleh. Pemerintah. Hal ini sesuai dengan pasal 34 ayat 1 dan 2 UUD 1.945. 3. Peran Pemerintah Daerah
Meskipun seluruh program Jaminan Sosial bersifat nasional, Pemanfaatan program Jaminan Sosial seluruhnya berada didae-rah/ditempat tinggal masing - masing. Peran Pemerintah Daerah , dengan demikian tetap sangat penting, baik didalam pengawasan/penyelenggaraan pemanfaatan maupun penyediaan sarana program Jaminan Sosial. Dengan bersifat nasional, terbuka peluang bagi daerah yang miskin untuk menerima dana investasi pengembangan sarana program Jaminan Sosial (misalnya pendirian RS), sehingga terbuka peluang pemerataan pembangunan. Pemerintah Daerah juga akan berperan didalam menetapkan jumlah peserta bantuan iuran dan juga menjamin sebagian iuran yang harus disetorkan kepada Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial (BPJS). Dengan demikian, diperlukan koordinasi yang sebaik-baiknya antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sehingga aspek
portabilitas dan keadilan dapat terpenuhi. Hal ini, perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4.Sinkronisasi dengan Perundangan lain Implementasi UU No 40/2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, selayaknya memperhatikan perundangano lain yang terkait. Misalnya U\J tentang Dana Pensiun (UU 11/1992, UU Jamsostek UU no 3/1992, UU tentang Usaha Asuransi, UU no 2/ 1992, UU tentang Perpajakan dan bahkan kependudukan). Hal ini telah memperoleh kesepakatan dengan pihak-pihak terkait diwaktu itu, sehingga formulasi UU No 40/2004 sangat layak dilaksanakan, tanpa mengganggu berbagai UU tersebut. Hal ini tekait untuk memperoleh manfaat yang lebih besar sesuai UU 11/1992, status nirlaba, serta perlunya diterbitkan single identification number dalam penyelenggaraan SJSN.
5.Masalah iuran dan manfaat Masalah iuran (contribution)dan manfaat (benefit package) Jaminan Sosial juga memperoleh perhatian yang besar, khususnya dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan (JK) dan Jaminan Pensiun (JP). Dalam program Jaminan Kesehatan, akhirnya disepakati manfaat Jaminan Kesehatan (JK) yang menyeluruh (comprehensive health-care), diselenggarakan melalui prinsip-prinsip managed healthcare concept. Hal ini diperlukan untuk dapat menjamin kelangsungan program yang efisien. Sedangkan di dalam pe-nyelenggraan program Jaminan Pensiun (JP), disepakati untuk memberikan "manfaat pasti" dan penyelenggaraan berdasar/unded policy dan bukan pay as you go. Selain hal ini akan menjamin manfaat JP, juga akan membuka peluang memperoleh manfaat tambahan dari hasil investasi dana yang tersimpan pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Perubahan mendasar inilah yang akan membedakan penyelenggaraan program JP PNS/TNI/Polri, dimana Taspen dan Pemerintah perlu mempersiapkan diri. Sedangkan bagi pekeria swasta, diperlukan masa transisi 15 tahun, agar dapat memperoleh pensiun penuh. Karena itu, iuran dalam masa transisi ini dapat bersifat tabungan ataupun asuransi (sosial).
Dengan konsep penyelenggaran program Jaminan Sosial seperti itu, tidak berlebih, kalau dikatakan, bahwa konsep seperti itu adalah "khas" Indonesia. Artinya, menyesuaikan diri dengan kondisi yang telah ada di Indonesia dan tidak menutup perubahan di masa depan. Ke "khasan" ini, tentunya tidak terlepas dari amanat UUD 1945, yang membedakan Indonesia dengan negara lainnya, meskipun prinsip-prinsip universal juga terakomodir dalam UU N040/2004. Menurut penilaian GTZ, sebuah konsultan Jerman yang ditugasi Bappenas untuk melakukan studi sistem jaminan sosial di Indonesia, dengan UU No 40/2004, Indonesia menerapkan prinsip-prinsip model "Social State Model" (Bismarck Model) dengan mengakomodir prinsip-jrinsip "Welfare State Model" (Beveridge Model).
Penutup
Kini, UU No 40/2004 telah diberlakukan selama 5 (lima) tahun. Pada tahun 2009, mestinya keempat BUMN penyelenggara program Jaminan Sosial (Askes, Jamsostek, Taspen dan Asabri), harus sudah menyesuaikan diri dengan UU No 40/2004 (Pasal 52 , UU No 40/2004). Namun, persyaratan itu belum terpenuhi. Ada kebuntuan hukum terkait penyelenggaraan SJSN.Apakah dengan kebuntuan hukum itu keberadaan keempat BUMN tersebut masih "valid"? Apa jalan keluarnya?Indonesia, dibanding dengan negara lain, sudah sangat jauh tertinggal didalam penyelenggaraan program Jaminan Sosial, sehingga sebagian besar pen-duduk/rakyat belum tercakup dalam program Jaminan Sosial. Negara dapat dianggap lengah, kalau tidak melaksanakan program Jaminan Sosial. Sebab, program Jaminan Sosial adalah amanat UUD 1945-0