PERNYATAAN SIKAP
Sejak Undang-Undang No 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh
disahkan parlemen, korban pemberangusan serikat pekerja (union busting)terus berjatuhan.
Sejak Undang-Undang No 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh
disahkan parlemen, korban pemberangusan serikat pekerja (union busting)terus berjatuhan.
Misalnya saja pengalaman Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) yang tergabung dalam Aliansi Buruh Menggugat (ABM). Pada tahun 2006, pengurus dan anggota serikat buruh di PT ISI, PT SM Global, PT Panah Forest Perkasa, PT EJP, dan lain-lain di Tanggerang yang berafiliasi dengan KASBI, diberangus secara serentak. Begitu juga dengan aktivis serikat buruh PT Istana Magnoliatama dan pengurus SBSI 1992 yang berafiliasi dengan ABM di Jakarta Utara.
Hal serupa juga terjadi pada aktivis Serikat Buruh Karya Utama (SBKU) Tanggerang. Belasan pengurus SBKU langsung dipecat beberapa hari setelah memberitahu manajemen mereka telah mendirikan serikat buruh. Pemberangusan yang sama juga dialami pengurus dan anggota FNPBI PT Katexindo KBN Cakung.
Juga pengurus dan anggota GSPB PT Traya, Tambun, Bekasi. Lalu pemecatan pengurus PT Hanceng Tangerang. Mutasi dan pemecatan pun dialami pengurus SP Transportasi Pusat Blue Bird Grup dan Ketua SP PT Bank Lippo Karawaci.
Pemberangusan pun merambah ke sektor-sektor lainnya, seperti yang dialami pengurus Serikat Pekerja Mandiri Hotel Grand Melia (Kuningan, Jakarta) yang berafiliasi dengan Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM).
Union busting lainnya menimpa pengurus Safari Garden Hotel Bogor, PT Karung Nasional, dan pengurus SP LIA Teacher Association (LIATA). Yang terbaru adalah pemberangusan yang dialami anggota dan pengurus serikat buruh PT Trijaya irta Dharma Bersatu, di Lampung.
Pola pemberangusan serikat pekerja pascapengesahan UU No. 21/2000 di Indonesia begitu klasik. Yakni dengan cara mutasi, intimidasi dan pemecatan dengan alasan disharmoni.
Di dunia pers, pemberangusan serikat pekerja (union busting) sudah terjadi sejak tahun 2002. Mulai dari SP Antara, SP Jakarta News FM, Perkumpulan Karyawan Warta Kota (PKWK), dan lain-lain. Yang terakhir, tanggal 8 Desember 2006 giliran Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) Bambang Wisudo yang jadi korban.
Tragisnya, sebelum menerima surat pemecatan dari Pemred Kompas Suryopratomo, Bambang Wisudo sempat dipiting, diseret paksa, dan disekap satpam yang mengaku menjalankan perintah atasan selama dua jam pada 8 Desember 2006 silam.
Bambang Wisudo dipecat dan disandera karena manajemen harian terbesar di Indonesia ini memang melakukan aksi pembalasan. Aksi itu terarah pada pimpinan PKK yang selama ini vokal mempertanyakan nasib saham kolektif sebesar 20% bagi karyawan.
Aksi balasan ini berupa pemindahan (mutasi) tugas sejumlah pimpinan kunci PKK ke daerah dengan alasan pengembangan karier. Syahnan Rangkuti selaku Ketua PKK dibuang ke Padang, sementara Sekretaris PKK Bambang Wisudo dibuang ke Ambon. Keputusan itu mulai berlaku 1 Desember 2006, meski kepengurusan PKK baru resmi berakhir 28 Februari 2007.
Jelas mutasi ini merupakan pembuangan. Apalagi General Manager Sumber Daya Manusia PT Kompas Media Nusantara, Bambang Sukartiono berkali-kali mengatakan mutasi ini merupakan upaya "rehabilitasi" untuk Bambang Wisudo. Dengan demikian, aktivitas Bambang Wisudo disamakan dengan upaya "rehabilitasi" tahanan politik (tapol) PKI pada era Orde Baru. Bila tapol PKI direhabilitasi ke Pulau Buru, pengurus kunci PKK dibuang ke Ambon dan Padang.
Pola pemberangusan seperti ini merupakan pola klasik kediktaktoran Soeharto. Dan celakanya pola ini masih tetap digunakan manajemen Kompas. Padahal di halaman tajuk rencana, setiap harinya Kompas menyerukan demokrasi, HAM, penghormatan terhadap hak berserikat, transparansi dan antikorupsi.
Parahnya, saat Bambang mewartakan sikapnya untuk menolak mutasi kepada karyawan Kompas, aksi kekerasan malah justru terjadi. Pada Jumat (8/12/2006) petang, Wisudo dibekuk, dipiting, diseret paksa, dan ditenteng sebelum akhirnya ditahan dan disandera oleh Satpam Kompas selama dua jam di pos satpam kantor perusahaan itu, di Jalan Palmerah Selatan 26-28, Jakarta. Itu terjadi saat Bambang Wisudo membagikan leaflet pernyataan sikapnya dalam kapasitasnya selaku aktivis serikat pekerja.
Setelah menjadi bulan-bulanan korban kekerasan dan penyanderaan selama beberapa jam, pemimpin redaksi Kompas kemudian mengeluarkan surat PHK dengan No: 074/Red/SDM/XII/2006. Surat itu ditanda-tangani pemimpin redaksi Kompas dan Direktur PT Kompas Media Nusantara, Suryopratomo.
Kini, persis tiga bulan setelah Bambang Wisudo dipecat secara sepihak oleh Suryopratomo, Disnaker DKI melalui surat anjuran bernomor 059/ANJ/D/III/2007 tanggal 9 Maret 2007 membatalkan pemecatan tersebut. Sebab, hal itu jelas merupakan upaya pemberangusan serikat pekerja (union busting). Karena itu Bambang Wisudo harus dipekerjakan kembali.
Tapi di tengah pemberangusan serikat pekerja (union busting) yang begitu massif, negara seperti cuci tangan. Instansi pemerintah yang sebenarnya bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya pemberangusan serikat pekerja, seperti Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga Kapolri, hanya diam melihat pelanggaran kebebasan berserikat tersebut. Baik yang terjadi di masa lalu, masa sekarang, dan bukan tidak mungkin di masa yang akan datang.
Padahal dalam Undang-Undang No 21/2000 tentang di Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dinyatakan:
BAB VII
PERLINDUNGAN DAN HAK BERORGANISASI
Pasal 28
Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara:
a. Melakukan pemutusan hubungan kerja, menghentikan sementara, menurunkan jabatan atau melakukan mutasi;
b. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c. Melakukan intimidasi dalam bentuk apa pun;
d. Melakukan kampanye antipembentukan serikat pekerja/serikat buruh;.
BAB XII
SANKSI
Pasal 43
1. Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus juta rupiah)
2. Tindakan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah tindak pidana kejahatan.
Tapi aturan yang disahkan parlemen ini tak mencegah jatuhnya korban pemberangusan serikat pekerja. Dari data yang terkumpul sejak setahun terakhir, puluhan kasus terus terjadi.
Dengan fakta-fakta di atas, kami 36 organisasi buruh, mahasiswa, dan organisasi non pemerintah yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (Kompas) menyatakan:
1. Menuntut DPR RI memanggil dan meminta pertanggungjawaban Menakertrans dan Kapolri untuk menangkap dan memenjarakan pelaku pemberangusan serikat pekerja atau union busting.
2. Menuntut DPR RI menggunakan hak interpelasi pada Presiden untuk kasus union busting dan pelanggaran hak normatif lainnya.
3. Menuntut DPR RI untuk mengawal proses penyelidikan di Depnakertrans dan Kepolisian untuk kasus union busting yang sedang berlangsung.
Jakarta, 15 Maret 2007
Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS)
Winuranto Adhi
Koordinator Non Litigasi
Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS)
Sekretariat: Jl Prof Dr Soepomo, Komplek BIER No 1A, Menteng Dalam, Jakarta
021-83702660, 021-70758626
081310274674 (Edy Haryadi), 081585160177 (Sholeh Ali),
08155517333 (Winuranto Adhi), 0811932683 (Bambang Wisudo)
SUMBER :
solidaritas-buruh